Pengertian korupsi.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi,
yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda,
tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi
merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan
pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang
dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan
senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim
(dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan
tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya
agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah.
Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya
atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Sebab-sebab korupsi
Ada beberapa sebab terjadinya praktek korupsi. Singh
(1974) menemukan dalam penelitiannya bahwa penyebab terjadinya korupsi di India
adalah kelemahan moral (41,3%), tekanan ekonomi (23,8%), hambatan struktur
administrasi (17,2 %), hambatan struktur sosial (7,08 %).
Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab
terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a.
Peninggalan pemerintahan kolonial.
b.
Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c.
Gaji yang rendah.
d.
Persepsi yang populer.
e.
Pengaturan yang bertele-tele.
f.
Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Dari pendapat para ahli diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Gaji
yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang
lamban dan sebagainya.
2. Warisan
pemerintahan kolonial.
3. Sikap
mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada
kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah.
Akibat-akibat korupsi.
Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat
korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai
pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk
berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan
pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata
ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata
sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja
kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara
terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap
mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan
segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan
pandangan.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan
langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar bebanmkorupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar bebanmkorupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas
membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi
menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak,
celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu
halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan
tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi
saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk
keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang
lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya
dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan
kedudukan social ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas
pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang
menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya,
oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup
ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi
induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga
harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi
sebagai berikut :
- . Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
- . Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
- . para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
- . Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
- . Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
- . Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
- . Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
- . Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
- . Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
- . Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam
menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan
wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap
sebagai hal yang memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat
para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi
adalah sebagai berikut :
a.
Preventif.
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b.
Represif.
Ø Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
Ø Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
Ø Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
Ø Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
KESIMPULAN
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.
Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.